Sebentar lagi peristiwa satu tahun yang lalu akan segera berulang. Para guru Indonesia akan merayakan hari penghormatan martabat bagi mereka secara seremonial sebagai sosok ujung tombak pendidikan, pada tanggal 25 November 2009. Tetapi, sungguhkah bahwa para guru di negeri ini benar – benar diposisikan sebagai ujung tombak di dalam penyelenggaraan pendidikan? Sungguhkah harkat dan martabat mereka sebagai guru , yang dalam bahasa Jawa di-kertabasa menjadi “digugu lan ditiru”, selama ini telah dihargai dan dimuliakan sebagaimana layaknya para penentu utama keberhasilan sebuah penyelenggaraan pendidikan?
Di dalam bangsa dan negara yang berbeda, penghargaan terhadap harkat dan martabat guru ternyata juga sangat berbeda – beda. Di Indonesia, penghargaan terhadap harkat dan martabat guru itu diwujudkan dalam sebuah slogan penamaan , “pahlawan tanpa tanda jasa”. Sejumlah kalangan mungkin saja sangat gembira dan bangga dengan sebutan yang terkesan agung nan anggun ini. Terutama sekali, mereka – mereka yang pada saat ini sudah tidak lagi berjuang keras untuk bertahan di era kompetisi yang super sulit seperti sekarang ini.
Dengan geliat konsumerisme dan hedonisme yang ditarik – tarik oleh gelombang globalisasi yang telah terjadi selama ini, para guru hampir semuanya berpenghasilan cukup atau malahan hanya paspasan itu,telah banyak dibuat kalang kabut. Bagaimana mungkin mereka yang adalah para pendidik bagi anak bangsa ini, bisa menyekolahkan dan ‘mendidikan’ anak – anak mereka sendiri supaya merasakan pendidikan yang dari waktu ke waktu telah menjadi sangat mahal ini.
Banyak di antara para guru kita yang merasa diri sudah tidak perlu bertumbuh dan berkembang lagi, mungkin karena masa pensiun mereka yang sudah dekat.Mungkin juga karena beberapa guru Indonesia , yang karena gelar akademik yang telah dimilikinya, dan juga oleh karena batasan umurnya, telah terganjal oleh program sertifikasi guru, yang pada saat ditulisnya artikel ini di beberapa daerah sudah menginjak masuk pda gelombang kedua dari pelaksanaan uji sertifikasi guru. Dengan, perkataan lain, beberapa orang guru sudah merasa frustasi dengan program kolosal pemerintah ini.
Sertifikasi guru seharusnya tidak semata – mata dipandang sebagai sarana untuk menambah dan meningkatkan profesionalitas dan kualitas guru Indonesia dalam pengertian yang sesungguhnya.Uji sertifikasi guru cenderung berlangsung secara kolosal dengan model – model pengumpulan porto folio,sepertinya justru dapat menjadi boomerang sendiri bagi banyak kalangan.Pasalnya, bukan benar – benar profesionalitas dan kualitas yang akan didapat, tetapi sungguh – sungguh hanya nuansa – nuansa proyek super bagus yang lebih kelihatan kentara dan jelas. Artinya pula, program pemerintah yang sebenarnya semula bertujuan sangat luhur, kini dank e depan justru akan berpotensi untuk menjadi program yang bisa mengecewakan pemerintah dan masyarakat bangsa ini.Oleh karena itu,para guru di Indonesia diminta benar- benar sepenuhnya berani bersikap kritis terhadap geliat – geliat di dalam dunia pendidikan yang terjadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar